Cerpen : Awal Cintanya Indah Di Bus . Oleh Nila Rahmi

AWAL CINTANYA INDAH DI DALAM BUS (PHP)

Nila Rahmi

                Kejadian itu takkan pernah ku lupa, belaian lembut tangannya mengelus jari-jemariku. Rasanya dunia menjadi milikku dan dia saja. Pikirku, semua kejadian indah itu adalah awal kebahagiaan yang aku rasakan saat itu.
                Embun pagi yang sangat menyejukkan di pagi hari itu, seakan mendukung kepergianku. Maksud hatiku ingin bersuka cita bersama teman-teman dan tak ingin menikmati kesedihan sedikitpun.
                Berangkatlah aku dengan senyum indah ini, yang mungkin memikat semua hati, tapi nyatanya senyum ini hanya untuknya.
                “Ayo semua masuk, kita akan segera berangkat...”
                Suara itu adalah suara yang tak pernah ku lupa, petugas bus itu, yang sangat garang dan aku tak menyukai sifatnya.
                Kami semua duduk dengan rapi. Aku  bersama teman kesayanganku Raisa. Sedangkan dia, entahlah, mungkin saat itu dia duduk sendiri di belakang atau bersama teman-teman yang lain.
                “Indah...bawa makanan nggak?”
                “Bawa dong Rai..., aku ambil dulu ya di tas?
                “Sipp...”
                Saat itu, kami semua sibuk masing-masing. Ada yang mendengarkan musik, nyanyi sendiri, yang sibuk makan aja pun ada.
                Aku hanyut akan pemandangan di sekitar, Raisa yang di sampingku pun tertidur pulas.
                Tiba-tiba dia datang menghampiriku, duduk di depanku. Pandangan itu, memikat hati ini. Senyum manisnya itu, membuat siapapun yang melihat luluh. Tak kalah jua dengan rayunya. Ia hanya berpaling memandangiku.
                Apa ini, kenapa hati ini berdebar tak karuan? Apa yang aku rasa ? Sejuta tanya di hatiku.
                Tangannya mengajukan sesuatu padaku. Sepasang headseat yang ia dengar, diberikannya salah satu pasangan headseat itu padaku.
                “Coba dengerin ini...!”
                “Apa ini..?”
                “Dengarkan saja...”
                Tanganku seolah langsung refleks, pikirku tak dapat menolak. Ku sambut headseat itu, dan ku dengarkan. Aku hanyut mendengar melodi di lagu-lagu itu.
                “Kenapa semua lagu yang dari tadi aku dengarkan dengannya sangat menusuk hati ini” Gumamku.
                “Gimana lagunya...?”
                “Kenapa semua lagunya seperti ini?”
                “Dengarkan saja, kamu akan mengerti nantinya...”
                Aku tak sanggup mendengar lantunan syair di lagu-lagu itu. Dari lagu-lagu itu semuanya menjelaskan seolah dia sudah terlanjur menyukai orang lain. Kulepas headseat itu dan ku kembalikan padanya.
                “Kenapa dikembalikan? Apa membosankan?”
                “Tidak, aku hanya merasa lelah, mungkin aku ingin tidur”
                “Ya sudah...”
                Kenapa pandangan itu masih tak beralih dari mataku? Tak puas kah dia membuat aku seperti ini.
                “Berhentilah memandangiku...”
                “Tak apa, saat ini aku hanya ingin melihat senyum manis pengobat rindu di hati ini”
                Siapa dia, laki-laki di depanku ini? Mengapa rasa ini sangat berbeda dari sebelumnya?
                Selama ini aku tahu satu hal, dia menyukai orang lain dan itu bukan aku. Tapi, kenapa dia seperti ini padaku.
                Dia terus-menerus menggodaku, sampai-sampai dia mengambil gambarku tanpa sepengetahuanku.
                Saat semua kejadian itu membuat aku bahagia, teman-teman yang lain justru menggodanya.
                “ Bagaimana Silva, apakah dia ada menghubungimu?” tanya Aldo.
                “ Tak ada, mungkin dia lagi sibuk”katanya.
                Mereka asyik bercanda, Aldo juga terus menggodanya tentang Silva.
                Tak bisa ku tutup telingaku, aku mendengar semua itu. Tanpa sadar, air mata menetes di pipiku. Pandangannya langsung beralih ke arahku.
                “Indah, kamu kenapa?”
                Aku hanya menggelengkan kepalaku.
                “Benar...?”
                “Iya... mataku hanya sedikit perih”
                Aku berlindung di balik gorden jendela bus. Masih sempatkah dia bertanya ada apa denganku. Setelah semua yang dia lakukan tadi, tak sadarkah dia?
                Dia berpaling dariku, dan kembali bercanda dengan teman-teman yang lain.     
                Betapa egoisnya dia, tak menghiraukanku.
                “Semua turun....kita akan makan di sini”
                Suara supir itu, bisakah dia tak mengangguku, tak tahukah dia apa yang aku rasa.
                “Ooy...cepat turun”
                “Iya Mang...sebentar”
                Aku benar-benar berharap untuk tak bertemu supir bus seperti ini lagi.
                Perlahan aku turun dari bus, tiba-tiba dia menghampiriku dari belakang.
                Dia memandangi wajahku.
                “Kamu kenapa Indah?”
                “Tak ada apa-apa”
                “Kamu tadi menangis kan?”
                “Tidak, mataku hanya sedikit perih”
                “Kenapa kamu menangis, apa itu salahku?”
                Oh Tuhan, dia bertanya seperti itu. Apakah dia belum sadar juga apa yang sudah dia lakukan.
                “Tidak, aku tidak menangis”
                Setelah selesai makan, kami semua kembali ke bus.
                Awalnya bahagia, kenapa sekarang aku seperti ini. Niat awalku kan untuk hiburan bersama teman-teman, tapi kenapa justru seperti ini.
                Di sepanjang jalan, aku hanya termenung sambil mendengarkan lagu dengan headseat di telingaku. Lagu yang sama aku putar terus-menerus tanpa henti. Kadang, air mataku menetes membayangkan hal-hal tentang dia.
                “Berhentilah menangis Indah”
                “Sudahlah Raisa, aku ingin menangis puas hari ini”
                “Tapi, kita pergi kan untuk berlibur”
                “Bukan liburan seperti ini yang aku harapkan Rai”
                Raisa hanya terdiam mendengar ucapanku. Suasana di dalam bus yang awalnya begitu riang seakan ikut hanyut dalam penderitaanku, berubah menjadi senyap.
                Setelah puas berkeliling-keliling, akhirnya kami pulang. Malampun tiba, aku masih saja menangis. Sesekali ku ambil secarik tisu dan ku hapus air mata ini.
                Tanpa sadar, aku mulai merasa lelah. Tanganku ku sandarkan ke kursi di depanku. Aku merasa hanyut dan hampir terlelap. Tiba-tiba, aku merasa ada yang menyentuh jari-jemari tanganku. Ternyata itu adalah jari-jemari tangannya.
                Belaian lembutnya menghanyutkan ku.
                “Tangan mungil ini takkan ku lepas”
                “Kenapa?”
                Dia tak menjawab pertanyaanku dan semakin erat memegang jari-jemariku.
                Hati ini terasa tenang dengan belaian tangannya itu.
                “Ada yang sedang bahagia di sini”
                “Iya tuh Ran, kamu benar”
                “Dia memegang erat jari-jemariku, dan tak dapat kulepaskan”
                “Tapi kamu bahagia kan Ndah?”
                Saat itu aku hanya tersenyum, sedangkan dia hanya berdiam diri saja.
                Kemudian Aldo menggodanya dan ia langsung melepaskan tangannya.
                “Aku beri tahu Silva tentang ini”
                “Hush..kamu Do, aku hanya bercanda”
                Oh Tuhan, dia bicara begitu keras di depanku, bagaimana mungkin aku tak mendengar. Betapa egoisnya dia, tidakkah dia memikirkan perasaanku. Jadi, semua hal tadi hanya dia anggap sebagai gurauan saja. Apa perasaan ini hanya untuk dipermainkan. Ternyata aku salah tentangnya, tentang semua perlakuannya padaku.
                Air mata ini kembali menetes dan aku tak sanggup lagi untuk melihatnya, aku hanya tertunduk.
                “Tuh lihat, kamu itu keterlaluan ya, Indah menangis lagi gara-gara kamu”
                “Apa sih Raisa, aku salah apa?”
                “Masih sempat-sempatnya kamu menanyakan hal itu, tanyakan saja pada hatimu”
                Dia hanya terdiam mendengar perkataan Raisa.
                “Baik semua, kita sudah sampai...siapa yang turun di sini?”
                Hah, lagi-lagi suara supir garang itu. Bisakah sekali saja dia tak menggangguku.
                “Saya turun di sini Mang”
                Suara itu, kenapa dia turun lebih dulu.
                “Nanti aku kirim e-mail”
                Dia berkata ke arahku dengan tatapan tajam dan langsung turun dari bus.
                Bus kembali berjalan. Teman-teman yang lain turun satu per satu, hingga tersisa aku, Raisa, dan Johan.
                “Semuanya turun di sini saja, saya tidak berani mengantarkan lebih jauh”
                Seharusnya tugas supir dari bus yang disewa itukan mengantarkan sampai ke rumah masing-masing bukan seperti dia.
                Akhirnya kami semua turun, mau tidak mau aku harus menunggu jemputan di rumah Johan.
                Tak lama kemudian, Ayah datang menjemputku.
                Dinginnya udara malam seakan tak terasa oleh tubuhku. Begitu lelahnya aku, mata inipun terlelap sembari perjalanan pulang.
                “Indah bangun, sudah sampai di rumah”
                Telingaku mendengar suara Ayah yang membangunkanku.
                “Iya Ayah..”
                Bergegas aku masuk ke rumah dan menuju kamarku. Tak ku perdulikan lagi barang-barang bawaanku yang tertinggal di mobil, pikirku biar ayah saja yang membawakannya masuk.
                Berbaring aku di tempat tidur, lalu ku nyalakan komputerku. Ternyata ada e-mail dari dia. Ku pikir dia takkan menghubungiku tapi ternyata aku salah.
                E-mail pertama darinya.
                Maaf Indah, kamu jangan menangis..
                Aku tersenyum membaca e-mail itu.
                E-mail berikutnya.
                Maaf kalau aku salah, aku tak bermaksud menyakitimu. Kalau gara-gara Silva kamu menangis, aku benar-benar minta maaf. Coba buka akun facebook mu Ndah..
                Ku buka akun facebook ku dan ada sebuah foto. Foto itu adalah fotoku di dalam bus saat aku termenung dengan memeluk boneka, dan di foto itu ada tulisan  yang membuat hatiku tak karuan. Tulisan itu seperti ini , “Ndah maaf, jangan nangis J senyum manisnya hilang tuh”
                Ku balas e-mailnya , tak apa... hati memang tak bisa dipaksakan koq, saat itu aku hanya sedang meratapi nasibku saja. Aku sudah berhenti menangis. Sudahlah lupakan saja.
                Dia membalas e-mail ku lagi.
                Aku tahu kamu bohong, kamu pasti masih menangis kan? Yang pasti kamu janji jangan pernah menangis lagi hanya karena aku.
                Tak ku balas lagi e-mail darinya, malam itu aku menangis sejadi-jadinya. Entah itu tangisan sedih atau tangisan terharu. Yang pasti ada rasa bahagia dan juga kecewa.
                Pikirku, rasa ini sudah benar-benar telah jadi miliknya, dan tak mungkin untuk orang lain. Dia sudah mengambil hatiku dan telah membuat aku jatuh cinta padanya.
                Pikiranku jauh entah kemana dengan berurai air mata, seiring dengan itu mataku pun terlelap.
********
                “Ndah...bangun, nanti kesiangan”
                Suara Ibu membuatku terbangun dan bergegas aku mandi.
                “Aku berangkat ya Bu? Sudah terlambat nih..”
                “Kamu tidak makan dulu, nanti kalau kenapa-napa gimana?”
                “Aduh, udah nggak sempat Bu...”
                Aku tiba di sekolah, dan ternyata dugaanku benar. Beberapa menit lagi upacara akan segera dimulai. Dengan perut keroncongan aku berbaris di lapangan.
                “Ciee...Indah, udah nggak nangis lagi kan?”
                “Apa sih Rai, shht, aku malu nih”
                Gara-gara Raisa akhirnya teman-teman yang lain ikut mengejekku.
                “Apa sih kalian, sudahlah jangan begitu sama Indah”
                Hari ini dia tampil sebagai pahlawan. Dia membela aku di depan teman-teman. Aku hanya diam saja dengan wajah memerah.
                “Ada yang malu tuh...”
                “Ihhh, Raisa...”
                Teman-teman yang lain juga ikut tertawa.
                “Semuanya, jangan ada yang bicara lagi, upacara akan segera kita mulai”
                Mendengar suara Bapak Rosidi kami semua langsung terdiam. Beliau kan guru paling killer di sekolah ku.
                Upacara pagi ini sangat panas, ditambah lagi dengan perutku yang keroncongan ini.
                Entah kenapa, kepala ini terasa berat dan penglihatanku mulai buyar, lalu aku tak bisa menyeimbangkan tubuhku.
                “Indah, kamu kenapa...bangun Ndah..”
                Hanya suara samar-samar Raisa yang terdengar di telingaku, lalu semuanya menjadi gelap.
                Perlahan-lahan ku buka mataku, dan ku tatap disekelilingku.
                “Ndah, kamu sudah baikan...?”
                “Rai, aku di mana?”
                “Kamu di UKS, tadi kamu pingsan saat upacara”
                “Benarkah..aduh aku memang bikin susah”
                “Kamu istirahat saja dulu, nanti kalau sudah enakan kita ke kelas deh”
                “Makasih ya Raisa sayang...”
                Aku tak ingin berlama-lama di UKS ini. Aku ingin secepatnya kembali ke kelas, dan melihatnya.
                “Rai, aku sudah baikan...kita ke kelas yuk?”
                “Yakin...?”
                “Iya Rarai...ayoo!”
                “Aku tahu koq jadi kamu pengen cepat-cepat ke kelas, buat ketemu si...”
                “Ihhh...apa sih, nggak lah. Aku takut nanti ketinggalan pelajaran”
                “Pintar ya kamu Ndah, pintar ngeles..”
                Aku hanya tersenyum kecil.
                “Permisi Bu...”
                “Masuk ...gimana Ndah keadaan kamu?”
                “Sudah baikan koq Bu...”
                “Ya sudah...duduklah”
                Saat pelajaran Bu jasmine, kami semua hanya bisa diam. Karena siapa pun yang ribut dan mengganggu pelajaran Beliau pasti di keluarin dari kelas.
                Bel tanda istirahat berbunyi.
                “Ndah, nggak mau istirahat?”
                “Kamu duluan aja Rai...”
                “Ya udah, aku duluan. Aku ada di kantin koq..”
                Sekarang aku sendirian di dalam kelas. Hufh andai aja dia datang dan mengajak aku makan atau apa lah gitu.
                “Ndah...”
                Hah, suara itu, dia datang dan dia beneran datang. Sekarang dia tepat di depanku.
                “Ndah...koq dipanggil-panggil nggak nyahut sih?”
                “Eh, iyaa...”
                “Udah makan?”
                “Belum...”
                “Ohh...pantesan tadi pingsan”
                “Iya, soalnya tadi aku nggak sempat sarapan di rumah gara-gara bangun kesiangan”
                “Kamu tuh ya..kan aku udah bilang jangan nangis lagi?”
                “Ihh..siapa yang nangis”
                “Udah lah..ketahuan koq bohongnya. Sekarang ikut aku ke kantin yuk?”
                Aku hanya tersenyum tak dapat menolak ajakannya.
                Kami makan bersama di kantin dan dia menasihatiku. Dia bilang, jangan menangisi seseorang secara berlebihan. Ya ampun, betapa malunya aku di depannya...
                Tapi hari ini menyenangkan. Hari senin manis buatku... penuh warna bersama dia.
********
                “Ndah...sudah waktunya tidur, ngapain lagi kamu?”
                “Iya..Yah, sebentar lagi aku tidur”
                Jam di kamarku sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan aku masih belum tidur.
                Sebenarnya, aku tidak sedang mengerjakan Pr tapi sedang menunggu sms darinya. Ya, dari tadi aku sms’an dengannya. Akhirnya, handphone ku berbunyi..
                “Tidur sana sayang..”
                Ku balas sms nya... “Iya..sayang”
                Betapa bahagianya aku saat ini, akhir-akhir ini kami jadi semakin dekat bahkan sangat dekat.
                Lalu, dia membalas sms ku lagi.. “selamat tidur sayang, mimpi indah”
                Aku tersenyum lebar, ingin rasanya aku teriak namun kalau kedengeran Ayah, nanti aku bisa kena marah.
                Tak habis-habis lamunanku tentang dia hingga akhirnya akupun terlelap.
                Kringg....jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi.
“Bu... berangkat yaa, udah telat”
                “Ndah..sarapan dulu”
                “Udah nggak sempat Bu, assalamualaikum”
                Pagi ini aku bangun kesiangan, gara-gara tidur terlalu malam.
                “Emm, Mang Kirman..”
                “Iyaa, kenapa Non?”
                “Nanti pulangnya nggak usah dijemput ya?”
                “Loh, kenapa Non, nanti saya bilang apa ke ibu?”
                “Emm..gini(berbisik)”
                “Iya Non, tapi..”
                “Aduh, nggak usah pake tapi-tapi yaa.. dah Mang Kirman”
                Bergegas ku lari dari mobil, karena Pak satpam sudah mau mengunci pintu gerbang.
                “Assalamualaikum...”
                “Masuk Ndah...”
                “Maaf Bu”
                Dan ternyata, Ibu Sati sudah mengajar. Ya maklum lah, Beliau itu langsung masuk ke kelas saat bel baru berbunyi.
                “Sst... Indah, kenapa telat?”
                “Hhh..pake nanya lagi, ya gara-gara kamu lah”
                Dia tersenyum kecil mendengar penjelasanku.
                “Ada yang lucu?”
                Dia hanya menggelengkan kepalanya.
                Tak terasa bel istirahat sudah berbunyi, dan Ibu Sati mengakhiri pelajarannya.
                “Rai, ke kantin yuk? Lapar nih..”
                “Nggak sempat sarapan lagi ya?”
                “Iya, gara-gara tidur kemaleman”
                “Koq bisa?”
                “Ya ampun Rai, kamu mau jadi detektif ya? Ntar aja ah, kita sambil jalan nanti aku cerita”
                Raisa hanya tersenyum kecil.
                Saat aku dan Raisa mau ke kantin, kami melewati lapangan basket.
                “Ndah, mau ke mana?”
                Terdengar suara seseorang dari arah belakang.
                Ternyata itu suara dia.
                “Emm, mau ke kantin. Mau ikut?”
                “Emm, gimana yah? Tapi kalau aku ikut makan, kamu harus nyuapin aku ya?”
                “Yee, maunya... mau ikut nggak nih?”
                “Hehe...nggak deh, ada Raisa”
                “Iya deh, jadi karena ada aku nih. Kalau gitu Indah ke kantinnya sama kamu aja deh”
                “Ihh.., Rarai gitu aja ngambek. Aku nggak mau sama dia koq, yuk kita pergi”
                Akhirnya kami makan di kantin.
                “Mana ceritanya, katanya tadi mau cerita?”
                “Hehe, iya lupa.... kamu tau nggak kenapa aku tidur kemaleman?”
                “Emm,nggak tahu? Kenapa?
“Itu gara-gara aku sms’an sama dia sampai larut malam”
“Ihh, ciee....”
Sambil makan, aku bercerita banyak hal sama Raisa. Raisa itu adalah satu-satunya temen yang paling ku percaya. Dia tempat aku berbagi dan kami saling support kalau ada masalah. Rasanya lega hari ini curhat sama Rarai tentang dia.
“Emm, tapi Ndah... kamu nggak boleh menyukai seseorang itu secara berlebihan”
“Aku nggak berlebihan koq, sewajarnya aja”
“Iya aku percaya. Aku hanya nggak mau kamu terluka Ndah. Kalau suatu saat terjadi sesuatu, kamu nggak akan terlalu menyesal..”
“Iya Raisa...”
Semua yang dikatakan Raisa hari ini, membuatku berpikir. Aku tidak boleh terlalu menyukainya, dan aku harus sadar, bahwa masa depanku masih panjang. Tidak ada yang tahu kan, apa yang akan terjadi.
Dan tibalah waktunya pulang sekolah. Niatku hari ini ingin jalan-jalan ke mall sama Raisa, makanya aku nyuruh Mang Kirman supaya tidak perlu menjemputku.
Sudah 15 menit aku berdiri di depan gerbang sekolah, tapi kenapa Raisa belum datang juga.
Akhirnya, aku memutuskan untuk menelpon Raisa.
“Halo Rai, kamu dimana?”
“Aku di rumah, kenapa?”
“Ya ampun Rai, kamu lupa ya kita hari ini mau ngapain?”
“Astaga, sorry banget Ndah aku lupa. Dan hari ini aku mau temenin Mamah aku ke dokter”
“Hah..ya udah deh”
“Maaf ya Ndah..”
“Iya nggak papa koq, Byee”
Sekarang aku bingung, harus pulang naik apa. Lagian kalau pun aku naik ojek, aku nggak akan pulang ke rumah dulu sekarang, karena tadi aku sudah bilang sama Mang Kirman untuk ngasih tahu Ibu kalau aku ada tugas kelompok di rumah temen.
Tiba-tiba, ada bunyi klakson motor di belakangku.
“Ndah ngapain kamu masih di sekolah?”
“Emm, kamu sendiri ngapain?”
“Tadi aku bantuin Aldo ngurusin rapat OSIS,emm kamu?
“Aku belum dijemput..”
“Yu udah pulang sama aku aja ya?”
“Tapi, nggak papa nih?”
“Iya nggak papa koq, ayo naik”
Aku hanya menganggukkan kepala tak bisa menolak. Rugi dong kalau aku tolak, mumpung ada tumpangan gratis dan diboncengin sama dia lagi.
“Kita langsung pulang kan?”
“Emm, kita makan dulu yuk? Aku laper nih..”
“Tapi...nggak papa nih?”
“Iya..nggak papa koq”
Akhirnya kami makan di cafe, biarin aja seluruh pengunjung cafe liatin dua anak muda lagi kasmaran.
“Emm, kamu mau pesan apa?”
“Aku sama kayak kamu aja deh Ndah”
“Koq gitu, kamu nggak ikhlas ya makan sama aku?”
“Ya nggak lah, justru aku seneng banget tahu..”
“Ihh..kamu yaa, ya udah aku pesanin dulu ya?”
“Siip”
Akhirnya pesanan datang dan kami pun langsung makan.
“Aku harap kita bisa begini terus..”
Tanpa sadar aku mengucapkan kata itu.
“Iya..aku juga. Tuh ada Mamah kamu Ndah?”
“Hah..mana?”
“Ini dia Mamahnya...”
“Aww...sakit tahu, pipi aku bukan kue”
“Habis, pipi kamu tuh ya tembem banget”
“Ihh..kamu awas ya, ntar aku bales..”
“Bales aja kalau bisa”
“Oke...tunggu aja nanti, blee”
Dia hanya tertawa mendengar jawabanku.
Selepas makan, dia langsung mengantar ku pulang.
“Makasih ya? Nggak masuk dulu...”
“Iya sama-sama, nggak deh... aku langsung pulang aja ya?”
“Iya..hati-hati”
“Iya sayang”
Aku hanya tersenyum lebar dan hatiku sangat senang. Akhirnya dia manggil aku sayang di kehidupan nyata, nggak hanya di dunia maya aja.
Hari ini  benar-benar berkesan, mungkin takkan pernah ku lupa. Saat aku menua, aku akan mengingat masa ini. Masa remaja, saat-saat aku bersama dia, dengan rayuan pemikat darinya yang mampu meluluhkan hatiku saat ini.
Aku masih belum mengerti kejelasan hubungan aku dan dia. Sebenarnya  aku ini dia anggap apa? Hah, entahlah...
Tak terasa, sudah 3 bulan kami dekat dan masih belum ada kejelasan apa-apa darinya.





Artikel Terkait:



0 komentar:

Posting Komentar